Friday, September 6, 2013

Apakah Relevan Pengetahuan Keagamaan dikompetisikan?

 
PB160164
Oleh : Wayan Wyasa
Pengetahuan Agama pada dasarnya sebagai landasan untuk membentuk karakter manusia yang bermoral dan bermartabat. Dengan landasan yang kokoh maka segala tindakan yang dilakoninya akan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dharma (kebenaran). Tanpa dasar yang kuat yang dibangun sejak dini maka akan lebih mudah terombang ambing seperti pohon yang akarnya dangkal maka ketika angin menerpa tidak akan mampu berdiri tegak. Oleh karena itu penanaman nilai nilai keagamaan sejak usia dini sangat diperlukan guna mewujudkan generasi yang beradab.
Maka dari itu pihak pihak yang berperan dalam bidang tersebut memiliki strategi untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman yang terkait tentang keagamaan. Sehingga muncul gagasan dalam pengembangannya dengan mengadakan kompetisi yang dibagi menjadi berbagai katagori lomba keagamaan. Tentunya tujuannya tiada lain untuk mencerdaskan pengetahuan dalam bidang keagamaan. Nah, yang menjadi pertanyan adalah sudahkah hal tersebut sesuai dengan harapan?. Apakah relevan pengetahuan keagamaan dikompetisikan ? Pertanyaan pertanyaan tersebut tentu akan terjawab ketika mengikuti dan mengamati pelaksanaannya di lapangan.
Ketika dianalisa tentu tidak semua pihak akan setuju jika jawabannya tidak sesuai dengan harapan dan tidak relevan. Namun setiap orang memiliki hak untuk berargumentasi dalam menyikapi hal tersebut, maka dari itu saya akan mengungkapkan kejujuran hati saya bawasannya pengetahuan keagamaan ketika dikompetisikan lebih banyak dampak yang tidak sesuai dengan tujuan dari agama itu sendiri terlebih lebih tujuan agama Hindu. Mengapa demikian? Karena ada beberapa hal yang melenceng dengan ajaran Agama Hindu seperti dalam pelaksanaannya, mulai dari persiapan, pihak penyelenggara lomba sudah mendapat cibiran dan kritikan yang menjatuhkan dari pihak pihak yang tidak berfikir secara jernih karena mereka tidak merasakan bagaimana perjuangan yang dilakukan pihak penyelenggara dalam menyukseskan acara tersebut.

 Kemudian pada saat lomba berlangsung terkadang terjadi penilaian secara subyektif yang dilakukan oleh tim penilai dan hal itu adalah sesuatu kewajaran karena menyangkut selera setiap tim penilai yang berbeda-beda. dimana pada dasarnya sulit memberikan penilaian yang obyektif ketika mengangkut aktifitas sosial. Selain itu setelah diputuskan secara final antara yang menang dan kalah tentu akan menimbulkan persoalan baru, coba bayangkan dari sekian banyak peserta yang mengikuti kompetisi hanya tiga peserta yang terpilih sebagai juara sedangkan yang lainnya sing juari. Tahukah kita bagaimana perasaan mereka yang kalah? Barangkali ada yang kecewa, putus asa bahkan sampai ada yang menangis dan ada pula yang protes karena tidak siap merima kekalahan. Sedangkan yang menang merasa bangga dan terkadang dapat menumbuhkan ego dalam dirinya.
Tentu hal ini tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu Karena esiensi ajaran Hindu adalah cinta kasih atau kasih sayang, maka untuk memupuk rasa kasih sayang bukan dengan cara mengkompetisikan pengetahuan keagamaan melainkan penghayatan dan mengamalan ajaran ajaran yang terkadung didalamnya. Dalam setiap kompetisi mesti ada pihak yang dikorbankan, ada yang menang dan ada pula yang kalah. Namun permasalahannya apakah semua pihak siap untuk kalah? Barangkali tidak semuanya , terutama bagi anak anak dan remaja yang terkadang belum tumbuh kebijaksanaannya. Sehingga dapat menimbulkan rasa kecewa dan kesedihan. Karena dalam sebuah kompetisi mereka berharap untuk menang atau hasil akhir. Ketika harapannya tidak tercapai penderitaanlah hasilnya. Jika dikaitkan dalam Pustaka suci tentu sistem tersebut tidak relevan sebagaimana yang disebutkan dalam Bhagawad Gita “ bekerjalah tanpa mengharapkan hasil” jadi yang diutamakan dalam setiap kerja adalah proses dari kerja tersebut bukan hasil akhir karena hasil akhir telah ditentukan oleh Sang Penakdir (Tuhan). Sedangkan dalam kompetisi diarahkan untuk tertuju pada hasil atau penghargaan. Sehingga terbentuklah generasi penerus yang hanya mau bekerja kalau ada imbalan yang nyata dengan demikian kita akan krisis sosok generasi muda yang mengutamakan pelayanan dan berjiwa social. Hal ini tentu menyebabkan lambat laun ajaran agama akan mengalami degradasi dan pada akhirnya spirit dalam agama akan hilang.
Maka dari itu, perlu ada dievaluasi oleh pihak pihak yang membidanginya jika system yang terapkan telah melenceng dari harapan yang diinginkan. Maka harus ada solusi yang dapat menanggulangi kelemahan kelemahan tersebut. Jika kita lihat system pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum karena tidak sesuai dengan harapan. Maka system kompetisi dalam mengembangkan pengetahuan keagaman semestinya diubah dan dikemas agar sesuai dengan karakter agama Hindu yang menekankan rasa bersaudaraan dan cinta kasih,
Penulis: Alumni STAHN Gde Pudja Mataram tahun 2012





No comments:

Post a Comment