Monday, August 12, 2013

Pacaran Beda Agama, Berpotensi Konflik

Pacaran Beda Agama, Berpotensi Konflik

Oleh: I Wayan Wyasa

Belakangan ini sering kita mendengar remaja Hindu melakukan status hubungan (Pacaran) dengan beda agama. Perasaan cinta itu tumbuh dan berkembang merupakan pengaruh dari pergaulan dan lingkungan yang majemuk. Kadang kala, kisah cinta seperti ini menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan. Bagi kalangan masyarakat yang berfikir secara terbuka akan mengatakan menjalin kisah asmara dengan beda agama merupakan hal yang wajar dan sah-sah saja karena setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Sedangkan, sebagian kalangan melarang hubungan tersebut, karena menimbulkan kerumitan ketika melangkah kejenjang yang lebih serius mengingat tata cara, budaya dan teologis yang berbeda

Pernyataan-pernyataan di atas akan memunculkan pertanyaan bagi generasi muda Hindu sendiri. Dikalangan masyarakat manakah remaja Hindu berada ? Ketika remaja Hindu berada pada kalangan masyarakat yang masih kental dengan adat-istiadat, budaya dan aturan agama yang ketat, maka langkah yang paling bijak adalah berpacaran dengan yang se-Agama, itulah keputusan yang terbaik, mengingat masa muda mengenal lawan jenis bukanlah menjadi prioritas, melainkan menuntut ilmu atau belajar (Bhrahmacari). Karena generasi muda merupakan aset bangsa yang akan menentukan maju atau mundurnya suatu Negara.

Ketika review kejadian yang terjadi akhir-akhir ini barangkali masih terekam jelas dalam ingatan kita yaitu konflik-konflik antar etnis yang terjadi di Nusantara, seperti di Lampung dan Sumbawa yang menyebabkan ribuan warga Hindu menjadi korban akibat kebrutalan orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga warga Hindu menderita kerugian materil dan korban jiwa serta mengakibatkan trauma yang mendalam bagi korban terutama pada psikologisnya. Hal ini menunjukan sebagian masyarakat belum siap menerima kebhinekaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Ketidaksiapan tersebut tentu harus menjadi perhatian khusus untuk lebih hati hati terhadap tindakan yang dapat memicu isu SARA (Suku, Agama, Ras dan antar golongan) terutama bagi para pemuda Hindu. Karena berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh KOMNASHAM dimuat dalam media cetak lokal di NTB, bahwa pemicu dari kerusuhan tersebut adalah pemuda bahkan skonarionya hampir sama di dua daerah tersebut. Jadi salah satu faktor pemicu terjadinya konflik sosial di masyarakat majemuk disebabkan oleh Pemuda sehingga generasi muda sangat penting untuk menjaga keharmonisan dalam kebinekaan ( keberagaman). Pemuda bukan hanya sebagai ikon perubahan bangsa yang maju tetapi juga memiliki andil dalam mewujudkan kedamain di tengah-tengah kemajemukan.

Terkait peristiwa-peristiwa tersebut di atas, dapat menjadi renungan bagi generasi muda Hindu, untuk memetik pelajaran dibalik kejadian tersebut. Tentu dalam hal ini semua pihak tidak mencari siapa yang menjadi kambing hitam ? tetapi semua mengharapkan kejadian seperti itu tidak terjadi lagi. Peritiwa ini pun barangkali pemuda maupun pemudi Hindu terbuka pandangannya untuk berfikir jernih dalam mempertimbangkan secara rasional ketika berpacaran dengan beda agama. Coba bayangkan dengan mengatasnamakan “CINTA” di atas segala-galanya seakan-akan dunia milik berdua, akan tetapi sudahkah mengetahui apa itu cinta yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan rasa cinta yang dilakoni selama ini hanya karena dorongan nafsu belaka ?.

Dalam pustaka suci Weda telah dijelaskan secara detail bahwa cinta itu ringan adanya, tidak terbebani, cinta tidak mementingkan diri sendiri dan cinta adalah sumber kedamaian serta selalu memberi. Nah, ketika cinta yang dilakoninya menimbulkan konflik dan masalah. Apakah masih wajar dinamakan cinta? Jika dicermati, ketika hubungan asmaranya ingin mempertahankan keyakinan masing-masing atau salah satu mengorbankan agamanya maka akan menimbulkan kelompok keyakinan yang ditinggalkan merasa tersakiti terutama orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya begitupun sebaliknya. Sehingga tanpa disadari mereka telah menciptakan konflik batin bagi dirinya. Konflik tersebut menimbulkan penderitaan bagi dirinya sehingga seluruh perhatian dan energi yang dimilikinya terkuras hanya untuk mengatasi konflik yang dibuatnya sendiri. Maka tugas dan kewajiban sebagai pemuda (brahmacari) akan dikesampingkan hanya berputar-putar memikirkan hal tersebut. Solusi yang bijak dapat dilakukan adalah keluar dari konflik yang diciptakannya, pahami bahwa cinta adalah penebar kedamaian hati dan untuk orang lain, namun ketika masih memaksakan kehendak sendiri, maka kita merasa mengenal cinta tetapi lupa hidup dalam cinta.

Pada dasarnya masa muda, jika dipandang dari ilmu yoga, pemuda memiliki semangat yang sangat tinggi karena berkaitan dengan cakra seks/energi kreatif dalam dirinya, apabila energi ini diarahkan untuk mengembangkan kreatifitas dan melakukan kesibukan-kesibukan yang positif seperti di setiap sekolah maupun perguruan tinggi telah menyediakan wadah diluar kurikulum yang disebut ekstrakurikuler dan organisasi-organisasi kemahasiswaan, maka akan menghasilkan dampak yang positif bagi perkembangan bakat potensi dirinya. Tetapi sebaliknya energi ini akan membunuh kreatifitas kalau hanya dicurahkan untuk mengenal lawan jenis terlalu dalam, karena pikiran kita hanya tercurahkan ke hal tersebut. Barangkali atas dasar inilah para penemu kebenaran sejati ( Maharsi) menyarankan pada saat brahmacari supaya totalitas dalam menuntut ilmu sehingga hakekat masa muda dapat tercapai secara maksimal, seperti yang dikemukakan oleh seorang motivator “ Masa Mudamu hanya sekejap tapi sekejap masa akan menyertaimu sampai tua” Jadi menyia-nyiakan masa muda berarti sama halnya menyia-nyiakan masa depan, karena masa muda merupakan kunci untuk membuka pintu kesuksesan.

Penulis: Alumni STAHN Gde Pudja Mataram tahun 2012

No comments:

Post a Comment